.....selamat datang di blog surnanto, semoga bermanfaat.....

Selasa, 04 November 2014

Perkembangan Historiografi Sejarah Islam

Pendahuluan
Penulisan kisah sejarah bukanlah sekedar menyusun dan merangkai fakta-Fakta Hasil penelitian, melaikan juga menyampaikan pendirian dan pekiran Melalui interpretasi Sejarah berdasarkan hasil penelitian.
Dalam perkembangan selanjutnya penulisan sejarah mengalami Kemajuaan, yaitu Dengan munculnya gagasan baru dalam penulisan sejarah. Setelah Indonesia merdeka Sejarah sudah menjadi ilmu yang wajib dipelajari dan Diteliti kebenarannya teori dan Metode yang modern. Hal ini disebabkan nation Bulding, yaitu sejarah nasional akan Mewujudkan kristalisasi identitas bangsa , Serta memperbudayakan ilmu sejarah dalam Masyarakat Indonesia yang menuntut Pertumbuhan rakyat, meningkatkan kesejahteraan Sejarah tentang perkembangan Bangsa-bangsa.

Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Penulisan Sejarah Pasca Ibn Ishaq?
2.      Apa Saja corak-corak Penulisan Karya-karya para Sejarahwan kita?
3.      Mengapa Metode Hawliyat Menjadi Lemah?
4.      Bagaimana Perkembangan Laggam Bahasa dalam Karya?

PEMBAHASAN
A.    Perkembangan Penulisan Sejarah Paska Ibn Ishaq
Sebagaimana telah di sebutkan, perkembangan penulisan sejarah dalam islam tidak dapat di pisahkan dari perkembangan budaya secara umum.[1] Puncak dari perkembangan budaya Itu terjadi pada masa dinasti Abbasyiyah, Tepat nya pada abad ke 9 dan ke 10M.
Setelah aliran-aliran penulisan sejarah di masa awal islam memisahkan Didalam Karya-karya sejarah Ibn Ishaq, Al-Waqidi, dan Muhammad Ibn Sa’d, Para sejawahwan Baesar islam semakin banyak barmunculan. Dalam Perjalanan ilmiah itu, terjadi dialog Intelektual antara satu aliran dengan aliran Lain, dan disamping banyak masukan-masukan Wawasan yang mereka Peroleh dari pengalaman pengembaraan intelektual itu. Hal ini Semakin Mendorong perkembangan penulisan sejarah. Corak penulisan secara bukanya Menjadi satu, justru menjadi beragam. Dengan ringkas dapat dikatakan, pada Masa Suburnya penulisan sejarah ini, ragam bahasa digunakan   dalam Penulisan sejarah Semakin beragam, corak dan tema sejarah semakin banyak, Dan metodologi penelitian Dan kritik secara semakin komleks. Diantara Sejarahwan  itu adalah sebagai berikut :

1.      Ibn Qatadah al-Dinawari ( w. 276 H/ 889 M)
Pada masa Dinasti Bani Abbas, sejarahwan muslim mulai manulis Sejarah umum, Terpengaruh oleh contoh-contoh kitab-kitab sejarah persia Seperti di terjemahkan oleh Ibn Al-Muqaffa’ (w. 140 H/757 M), yaitu Kitab Siyar Muluk al-‘Ajam ( buku tentang Biografi raja-raja persia).  Buku sejarah umum yang tertua adalah karya Ibn Qatadah al-Dinawari ( W. 276 H/ 889 M), yaitu Uyun al-Akhbar. Namun dia juga menulis karya Sejarah yang bukan yang merupakan sejarah umum, seperti Thabaqat al-Syu’ara’ (Tingkatan para penyair). Karya-karyanya berjumlah sekitar 46 Buku itu, diantaranya Disamping yang sudah disebutkan diatas adalah Kitab al-Ma’araif  ( Buku tentang Pengetahuan) dan al-Imamah wa al-Siyasah,( kepemimpian dan politik)[2]

2.      Al-Ya’qubi ( Wafat di Mesir pada tahun 284/897 M)
Penulis yang sezaman dengan Ibn Qatadah al-Dinawari di atas Adalah Ahmad Ibn Abi Ya’qub Ibn Wadhi yang dikenal dengan nama al-Ya’qubi ( Wafat di Mesir pada tahun 284/897 M). Dia adalah seorang Sejarahwan penggembara, yang hidup di Baghdad pada Masa Pemerintahan khalifa Abbasiyahan, al-Mu’tamid (870-892). Nama Lengkapnya Adalah Ahmad bin Abi ya’qub Ishak bin Ja’far bin Wahhab Bin Wadhih, dan dikenal Dengan nama Al-Ya’qubi.
Dia menggarang buku kitab al-Bulda ( Buku Negeri-negeri). Pada Tahun 891 di Mesir. Al-Ya’qubi juga menulis buku sejarah lam yang Dikenal dengan nama Tarikh al-Ya’qubi, 2 jilid. Jilid pertama berisi Sejarah dunia kuno, yakni peristiwa-peristiwa yang Berhubungan dengan Penciptaan alam, Nabi Adam as. Dan putra-putranya, Nabi Nuh as Dan Peristiwa banjir besar, kemudian sejarah Nabi-nabi sampai dengan Nabi Isa as. Jilid Kedua berisi sejarah islam, yang disusun berdasarkan urutan Para khalifa, sampai tahun 259 H, pada masa pemberintahan al-Mu’tamid ( 257-279 H/ 870-892 M). Iya Mengawalinya dari kelahiran, riwayah Hidup ( al-Sirah ), serta perang ( al-Maghazi dan al-Saraya ). Nabi Muhammad saw., dan baru kemudian baru tentang khalifa.
Di samping dua buku diatas, dia juga meninggalkan sebuah karya Singkat berjudul Musyakalat al-Nas li Zamanihim ( kesamaan manusia Pada masa mereka). Buku ini Membahas bagaimana masyarakat berusaha Mengikuti dan mencontoh kehidupan para Pengguasa, terutama tentang Para khalifa Bani Umayyah dan Bani Abbas.
3.      Al-Baladzuri ( w. 279 H/ 892 M)
Nama lengkapnya adalah Abu Ja’far Ahmad bin Yahyah bin Jabir Bin Daud al-Baladzuri. Ia dilahirkan di Baghdat pada akhir abad ke-2 H. Muhammad Ibn Sa’ad adalah Seorang gurunya. Sejak usia muda dia sudah Menggembara untuk menuntuk ilmu di Beberapa Negeri  Islam. Hal Penggembaraannnya ini dapat dilihat dari sumber-sumber Pengambilan Riwayat sejarah didalam kitabnya Kitab Futuh al-Buldan ( Buku Pembukaan Negeri-negeri ). [3] Ia pergi ke Damaskus, Homs, dan Antakia.
Dia dapat dikatakan sebagai seorang sejarahwan istana. Hubungannya dengan khalifa Al-Mutawakkil (khalifah Abbasyah, Memerintah tahun 232-247 H/ 847-861 M) sangat Dekat. Khalifa Abbasyah berikutnya al-Mu’tazz ( memerintah tahun 252-256 H/ 866-869 M), bahkan menggatnya sebagai pendidik putranya yang bernama Abbdullah.
Sebagai seorang ilmuan produktif, dia meninggalkan banyak karya, Diantaranya kitab Al-Buldan al-Saghir ( Buku Kecil Negeri-negeri ), Kitab Al-Buldan al-Kabir ( Buku Besar Negeri-negeri ) yang belum selesai, Kitab al-Akhbar wa al-Ansab ( Buku Sejarah Dan Silsilah / Geneologi ), Kitab an-Ansab al- Asyraf  ( Buku Silsilah para Syarif ), dan Kitab Futuh Al-Buldan. Di samping menggarang beberapa buku, ia juga Menerjemahkan Sebuah buku berbahasa Persia ke dalam bahasa Arab Dalam bentuk Syair, yang dalam Bahasa Arab yang berjudul ‘Ahd Ardasyir (masa Ardasyir).
Buku nya kitab Futuh al-Buldan membahasa sejarah ekspansi Islam ke Negeri-negeri Timur dan Barat. Metodi sejarahnya dapat dilihat Pada sistem matika penulisan Kitab Futuh al-Buldan. Ia tidak lagi Menggunakan metode Hawliyat ( peneulisan sejarah Berdasarkan urutan Tahun kejadian ), melinkan pendekatan tematik, yaitu berdasarkan Wilayah ( Negeri ). Ia memulai pembahasan dengan Negeri-negeri yang Ditaklukan pada Zaman Nabi Muhammad saw.
Dalam membicarakan setiap Negeri yang dimasuki Islam, Pembahsan dilanjutkan Sampai kemassa hidupnya, dengan tetap Memperhatikan faktor kronologi dan kadang-Kadang menggabungkanya Dengan metode Isnad  ( Metode periwayatan ).

4.      Abu Hanifah al-Dinawari ( w. 282 H-895 M )
Nama lengkapnya ialah Abu Hanifah Ahmad bin Daud bin Wathad Al-Dinawari al-Nahwi. Ia banyak meninggalkan karya tulis dalam Berbagai displin ilmu. Karyanya dalam Bidang sejarah adalah Kitab al-Akhbar al-Thiwal ( Buku sejarah panjang ) dan Kitab al-Buldan ( Buku Negeri-negeri ). Para sejarawan sangat memujanya dan karya-karyanya.[4]
Didalam Kitab al-Akhbar al-Thiwal ( Buku Sejarah Panjang ), ia Pertama-tama Bercerita tentang kisah anak-anak Adam, para Nabi, sampai Ke Nabi Ismail, secara Ringkas. Dalam membicarakan ekspansi Islam ke Tersia itu, ia secarah rinci menyebutkan urutan-urutan peristiwa sampai Terbunuhnya Raja Persia yang terakhir Khusrah Yasdajird 111 pada tahun 30 H.
Al-Dinawari tidak menyebutkan sumber penggambilan (Pengutipan). Informasi-Informasi sejarah yang ditulisnya didalam Kitabnya itu, karena berbeda dengan Sejarahwan semassa dengannya, ia Tidak menggunakan metode Isnad, dan tidak pula Menyebutkan buku-Buku yang dikutipnya.
Ketika pembahas sejarah khalifah Harun al-Rasyid, ia sedikit Menyimpang dari Metode penulisan yang digunakannya didalam buku ini, Yaitu ia menghimpun pristiwa-Pristiwa yang terjadi dan yang disusunya Berdasarkan tahun.
5.      Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir al-Thabari ( w. 310 H/ 922 M ) dan al-Mas’udi ( w. 957 M )[5]
Al-Thabari adalah seorng sejarahwan besar muslim yang juga ahli Dalam ilmu-ilmu tafsir, Qiraat, hadis dan fiqh. Sebagai penulis produktif Dia menulis banyak buku dalam Berbagai displin tersebut.[6]
Karya sejarahnaya berjudul Tarikh al-Rusul wa al-Muluk ( Sejarah Para Rusul dan Para Raja ) dan Tarikh al-Rijal ( Sejarah Para Tokoh ). Dalam Kitabnya yang pertama, dia Memulai sejarah dengan para Rasol Dan Raja-raja dengan mengetengahkan sejarah Nabi Adam dan Nabi -nabi Dan sistem pemerintahan mereka.
Adapun yang berkenaan dengan al-Mas’ud, Kitabnya yang terkenal Adalah Muruj Al-Dzahab wa Ma’adin al-Jawhar dan al-Tanbih wa al-Isyarf. Berbeda dari kitab-kitab Sejarah yang lain, dalam Kitabnya yang Pertama termuat juga sejarah Hindu ( Hindia), Persia, Romawi, dan Yahudi. Sedangkan Kitabnya yang kedua berisi pendapat-pendapat filsafat Sejarah dan hubungan-hubungan antara hewan, tumbuh-tumbuhan dan Tambang. Didalam nya juga terdapat sejarah klasik, sejarah Islam, dan Negeri-negeri lain.
B.   Perkembangan Corak Penulisan Sejarah
Mulai dari massa awal pertumbuhan Histriografi Islam hinga massa Munculnya Sejarahwan-sejarahwan besar tersebut diatas, corak penulisan Sejarah dalam karya-karya Sejarah mereka dapat dikelomokan menjadi tiga Bagian yaitu corak Khabar, corak Hawliyat ( kronologi berdasarkan tahun ), Dan corak Mawdhu’iyat ( tematik ).

1.      Khabar
Sejarahwan muslim pada mulanya menulis sejarah disandarkan Pada riwayat, yang Sebagaimana dalam penulisan hadits, dengan Menggunakan sanad. Beberapa ciri Berkenaan dengan riwayat-riwayat Itu[7] :
a.       Antara satu riwayat dan riwayat lain tidak ada hubungan, masing-masing Berdiri sendiri-Sendiri.
b.      Riwayat itu ditulis dalam bentuk cerita ( kisah ) yang biasanya dalam bentuk dialog.
2.      Hawliyat
Kalau sebelumnya para sejarahwan Isalm menulis peristiwa-Peristiwa sejarah itu secara Acak dan tidak berurutan ( kronologi ), dalam Perkembangan seterusnya para sejarahwan Kemudian menggunakan dua Metode penulisan,  yaitu : metode penulisan sejarah Berdasarkan urutan Tahun  ( al-Tarikh al-Hawli, atau al-Tarikh ‘ala al-Sinin, atau yang Lebih Singkat Hawliyat, annalistic form dan metode penulisan sejarah Berdasarkan tema ( Tematik )[8]
                                    Yang di maksudkan dengan halwiyat, adalah metode penulisan Sejarah yang Menggunakan pendekatan tahun demi tahun. Dalam metode Ini, bermacam-macam Peristiwa yang banyak yang terjadi pada tahun Tertentu dihubungkan dengan kata Wafiha(dan pada tahun ini juga).
At-thabari, salah seorang tokoh dan rujuknya sejarawan islam, oleh Banyak Pemerhati histografi Islam sering di pandang sebagai sejarawan Muslim yang pertama Menghasilkan metode hawiliyat; yang menulis Didalam karya sejarah nya Tarikh al-Rusul Wal al-Muluk (sejarah para Rosul dan para raja) yamg juga di kenal dengan dengan judul Lain Tarikh Al-Umam wa al-muluk.namun rosenthalmeragukan bahwa al-thabari Adalah Sejarawan pertama yang menggunakan metode hawliyat dalam Menulis sejarah.
Menurut Rosenthal, At Thabari bukanlah sejarahwan pertama yang Menggunakan Metode hawliyah[9], hal ini terjadi setelah Rosenthal Memahami buku milik Muhammad Ibn yazdad yang telah menggunakan Metode halwiyah.
Metode hawiyah seperti itu masuk pertama kali dan di pergunakan Oleh sejarahwan Muslim yang yang pertama melalui hubungan dengan Para ilmuan kristen asal siryani dan Kemudian di susul oleh melalui Bacaan mereka terhadap sumber-sumber ahli yunani Secara Langsung.singkatnya dalam pandangan Rosenthal sejarawan muslim Mendapat Insfirasi dalam metode halwiyah dalam penulisan sejarah dan Sejarah Yunani dan Siryani,Padahal menurut Abd  al-Aziz salim karya-Karya tulis Yunani dan Siryani belum Mempengaruhi sejarahwan muslim Apa yang mereka kutip dari mereka terbatas dalam Masalah-masalah yang Berkaitan dengan ilmu filsapat, matematika, falak, geografi, kimi Kedokteran, dan obat-obatan.
3.      Kritik tehadap metode halwiyat dan munculnya corak tematik
Metode halwiyah mengandung kelemahan karna itu memutus Kontinuistas sejarah Yang panjang yang saling berhubungan dan Berkelanjutan dalam beberapa tahun.sejarah Yang memakai metode Seperti ini tidak menyebutkan peristiwa- peristiwa sejarah kecuali Yang Terjadi pada tahun bersangkutan dan berkelanjutan pada tahun-tahun Berikutnya, Maka peristiwa itu terpisah-pisah, informasih yang terpisah-Pisah itu kemudian di Gabungkan dengan peristiwa-peristiwa lain yang Terjadi pada tahun itu.Ibn al-Atsir telah Berusaha menghindarkan diri dari Kelemahan halwiyat. Untuk itu ia menghimpun unsur-Unsur peristiwa yang berkelanjutan dalam beberapa tahun, dan menghubungkan bagian-Bagian dalam satu tahun tertentu dalam satu tema sehingga peristiwa itu Menjadi jelas Dan dapat di pahami.di samping itu juga ibn al Atsirsangat Memperhatikan kemudahan Bagi para pembaca, yaitu dengan memberikan Judul bagi peristiwa-peristiwa yang Menggambarkan isinya. Penulis besar Lainnya,syihaib al-Din Ahmad ibn ‘Abd al-Wahhab Al-Nuwayri (w.732 H)10,juga mengeritik metode hauliyat dan menulis sejarah Berdasarkan Tema.
C.    Perkembangan langgam Bahasa dalam karya sejarah
Kalau dari segi tekhnik penulisan (al-thariqah), penulisan sejarah Terus mengalami Perkembangan, dalam bidang laggam bahasa ia juga Mengalami perkembangan.pada Mulanya karya-karya sejarah, sebagian Besarnya, menghimpun khabar-khabar itu dalam Bentuk kalimat-kalimat Pendek yang kering, yang tidak berkaitan satu sama lainnya. Pada Masa yang Lebih akhir tulisan-tulisan sejarah banyak di rasupi oleh kata-kata asing atau Logat-logat daerah tertentu.karna pada abad ke -9dan 10 H, logat-logat Daerah semakin Banyak di temui.

KESIMPULAN

Dinasti Abbasiyah adalah suatu dinasti (Bani Abbas) yang menguasai Daulat (negara) Islamiah pada masa klasik dan pertengahan Islam. Daulat Islamiah ketika berada di bawah kekuasaan dinasti ini disebut juga dengan Daulat Abbasiyah. Daulat Abbasiyah adalah daulat (negara) yang melanjutkan kekuasaan Daulat Umayyah. Dinamakan Dinasti Abbasiyah karena para pendiri dan Penguasa dinasti ini adalah keturunan Abbas (Bani Abbas),
Sejalan dengan berdirinya Dinasti Abbasyiah, ada beberapa kemajuan Yang dicapai oleh Dinasti ini, diantaranya bidang politik, bidang ekonomi, bidang Sosial. Selain itu juga setiap Dinasti bukan hanya mencapai kemajuan, tapi juga Mendapat sebuah kehancuran.   

[1] Abd al-aziz Duri, Al-Bahis fi Nasy’ah Tlm al-Tarikh ‘ind al-‘Arab, ( Beirut: 1960), h.13
[2] Sayyidah Ismail Kasyif, Mashadir al-Tarikh al-Islami wa Manahij al-Bathts Fih, ( Kairo: Maktabah al-Khanji, Tanpa tahun), h.31. Tentang karya-karyanya lihat Ibn al-Nadim,al-Firhrasat.
[3] Lihat al-Baladzuri, Futuh al-Buldan, ( Beirut: Dar al-kutub al-‘ilmiyyah, Tanpa tahun). Tentang riwayat hidupnya baca Ridhwan Muhammad Ridhwan, ‘’ Hayat al-Baladzuri’’, dalam ibid
[4] Margoliouth, Lectures on Arabic Historyal, ( Delhi : Idarah-i adabiyyat-i Delli,1977), h. 112 dst.
[5] Kedua sejarahwan besar muslim ini secara lebih detail akan dibahas khusu pada bab berikut.
[6]  ‘Muqaddimah al-Nasyir’’ ( Pengantar Penerbit ), dalam al-Thabari, Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, ( Dar al-Fikr, Tanpa tahun ), H. 16
[7]  ‘Abd al-Aziz Salim, al- Tarikh wa al-mu’arrikhun al-‘Arab, ( Beirut : Dar al- Nahdhah al-‘Arabiyyah, 1986), h 75; Franz Rosenthal, History of muslim Histotiography, ( Leiden: E. J. Brill,1968), h. 66-71
[8] Abd al-Aziz Salim, op.cit., h. 82
[9] Franz Rosenthal, op. Cit, ( Leiden: E.J. Brilln, 1968 ), h. 102 dan seterrusnya.

Minggu, 02 November 2014

Pengertian Antropologi dan Perkembangannya

Pengertian Antropologi
 Antropologi adalah paduan dari kata-kata yang berasal dari bahasa Yunani anthropos berarti manusia dan logos adalah ilmu. Jadi antropologi adalah ilmu yang mempelajari sifat-sifat manusia baik secara fisik dan perkembangannya, maupun sejarah terjadinya aneka warna ciri-ciri fisik manusia, sejarah persebaran dan aneka warna kebudayaan manusia di muka bumi.[1]
    Antropologi lebih memusatkan pada penduduk yang merupakan masyarakat tunggal, tunggal dalam arti kesatuan masyarakat yang tinggal daerah yang sama.
Definisi antropologi menurut para ahli
-
Menurut William Havilland
       Antropologi adalah studi tentang umat manusia, menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya serta untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia.
-Menurut David Hunter
       Antropologi adalah ilmu yang lahir dari keingintahuan yang tidak terbatas tentang umat manusia.

-Menurut
Koentjaraningrat
       Antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkaan.

Dari definisi di atas, pengertian sederhana Antropologi adalah sebuah ilmu yang mempelajari manusia dari segi keanekaragaman fisik serta kebudayaan (cara-cara berprilaku, tradisi-tradisi, nilai-nilai) yang dihasilkan sehingga setiap manusia yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda.

     Manusia memiliki rasa ingin tahu yang kuat. Rasa ingin tahu itulah yang mendorong manusia mencari jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya.

      Manusia mempertanyakan berbagai hal mengenai dirinya sebagai mahkluk biologis dan sebagai mahkluk sosial (dalam arti hidup dalam masyarakat).

    Upaya menekuni pertanyaan-pertanyaan demikianlah yang menjadi penyebab berkembangnya antropologi sebagai ilmu. Tujuan kita mempelajari Antropologi yaitu agar kita mengerti tentang mahkluk manusia itu pada umumnya.
 
Suatu bagan yang menggambarkan ilmu-ilmu bagian dari antropologi atau beberapa bidang spesialisasi dari Antropologi Budaya.

Antropologi Fisik
       Antropologi fisik adalah ilmu yang mempelajari tentang sejarah terjadinya aneka warna mahkluk manusia dipandang dari sudut ciri-ciri tubuhnya, yang memakai sebagai bahan penelitian ciri-ciri tubuh, baik lahir (fenotipik) seperti warna kulit, warna dan bentuk rambut, indeks tengkorak, bentuk muka, warna mata, bentuk hidung, tinggi dan bentuk tubuh, maupun yang dalam (genotipik) seperti golongan darah dan sebagainya.
       Antropologi fisik mempelajari manusia sebagai mahkluk fisik yaitu bagaimana dan apa sebabnya bangsa-bangsa berbeda menurut keadaan fisiknya.

Antropologi Budaya
       Menurut ahli antropologi istilah kebudayaan, umumnya mencangkup cara berpikir dan cara berperilaku yang menjadi ciri khas suatu bangsa atau masyarakat tertentu. Kebudayaan terdiri dari bahasa, sistem ilmu pengetahuan, mata pencaharian, peralatan hidup, kesenian dan sebagainya.[2]
       Konsep kebudayaan sedemikian pentingnya untuk memahami antropologi budaya, berikut ini adalah spesialisasi dari antropologi budaya, yakni:

Antropologi Linguistik
       Antropologi linguistik adalah ilmu yang mempelajari bahasa-bahasa. Para ahli antropologi melakukan penelitian dengan meminta bantuan kepada ahli bahasa untuk mempelajari bahasa-bahasa masyarakat sederhana (primitif). Bahasa pada hakikatnya merupakan wahana utama untuk meneruskan adat-istiadat dari generasi satu ke generasi berikutnya. 
  
      Perkembangan Ilmu Antropologi
     Fase pertama (sebelum 1800). Suku-suku bangsa penduduk pribumi Afrika, Asia dan Amerika mulai didatangi oleh orang Eropa Barat sejak akhir abad ke-15 dan permulaan abad ke-16, dan lambat laun dalam suatu proses yang berlangsung kira-kira 4 abad lamanya, berbagai daerah di muka bumi mulai terkena terpengaruh negara-negara Eropa Barat. Bersama dengan perkembangan itu mulai terkumpul suatu himpunan besar dari buku-buku kisah perjalanan, laporan dan sebagainya, buah tangan para musafir, pelaut, penyiar agama Nasrani, penerjemah kitab Injil, dan pegawai pemerintah jajahan.
     Dalam buku-buku itu ikut termuat suatu himpunan besar dari bahan pengetahuan berupa deskripsi tentang adat-istiadat, susunan masyarakat, bahasa dan ciri-ciri fisik dari beraneka ragam warna suku-suku bangsa  di Afrika, Asia, Oseania (yaitu kepulauan di lautan teduh) dan suku-suku bangsa Indian, penduduk pribumi Amerika. Bahan pengetahuan ini disebut bahan etnografi, atau deskripsi tentang bangsa-bangsa.
     Kemudian dalam pandangan orang Eropa timbul tiga macam sikap yang bertentangan terhadap bangsa-bangsa di Afrika, Asia, Osenia, dan orang-orang Indian di Amerika tadi, yaitu :
1. sebagian orang Eropa memandang akan sifat keburukan dari bangsa-bangsa tadi, dan mengatakan bahwa bangsa-bangsa itu bukan manusia sebenarnya, bahwa mereka manusia liar, turunan iblis dan sebagainya. Dengan demikian timbul istilah-istilah seperti savages, primitives, yang dipakai orang Eropa untuk menyebut bangsa-bangsa tadi.
2. sebagian orang Eropa memandang akan sifat-sifat baik dari bangsa-bangsa jauh tadi, dan mengatakan bahwa masyarakat bangsa-bangsa itu adalah contoh dari masyarakat yang masih murni, yang belum kemasukan kejahatan dan keburukan seperti yang ada dalam masyarakat bangsa-bangsa Eropa Barat waktu itu.
3. Sebagian orang Eropa tertarik akan adat-istiadat yang aneh, dan mulai mengumpulkan benda-benda kebudayaan dari suku-suku bangsa di Afrika, Asia, Oseania dan Amerika pribumi tadi. Dengan demikian muncul museum-museum pertama tentang kebudayaan-kebudayaan bangsa di luar Eropa.
     Fase kedua (kira-kira pertengahan abad ke-19). Integrasi yang sungguh-sungguh baru timbul dari pertengahan abad ke-19, waktu timbul karangan-karangan yang menyusun bahan etnografi tersebut berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat. Contohnya, masyarakat dengan kebudayaan manusia telah berevolusi dengan sangat lambat dalam satu jangka waktu beribu-ribu tahun lamanya, dari tingkat-tingkat yang rendah , melalui beberapa tingkat antara, sampai ke tingkat-tingkat tertinggi. Bentuk-bentuk masyarakat dan kebudayaan manusia yang tertinggi itu adalah bentuk-bentuk seperti apa yang hidup di Eropa Barat itu. Semua bentuk masyarakat dan kebudayaan dari bangsa-bangsa di luar Eropa, yang oleh orang Eropa disebut primitif, dianggap sebagai contoh-contoh dari tingkat kebudayaan yang lebih rendah, yang masih hidup sampai sekarang sebagai sisa-sisa dari kebudayaan manusia pada zaman dahulu. Dengan timbulnya karangan sekitar tahun 1860, yang mengklasifikasikan bahan tentang keanekaragaman kebudayaan di seluruh dunia ke dalam tingkat-tingkat evolusi yang tertentu, maka timbullah ilmu antropologi.
     Dalam fase perkembangan yang ke-II ini antropologi berupa suatu ilmu yang akademikal : dengan tujuan yang dapat dirumuskan sebagai berikut : mempelajari masyarakat dan kebudayaan primitif dengan maksud untuk mendapat suatu pengertian tentang tingkat-tingkat kuno dalam sejarah evolusi dan sejarah penyebaran kebudayaan manusia. 
      Fase ketiga (permulaan abad ke-20). Pada permulaan abad ke-20, sebagian besar dari negara-negara penjajah di Eropa masing-masing berhasil untuk mencapai kemantapan kekuasaannya di daerah-daerah jajahan di luar Eropa. Untuk keperluan pemerintahan jajahannya tadi, yang waktu itu mulai berhadapan langsung dengan bangsa-bangsa terjajah di luar Eropa, maka ilmu antropologi sebagai suatu ilmu yang justru mempelajari bangsa-bangsa di daerah-daerah di luar Eropa itu, menjadi  sangat penting. Bersangkutan erat dengan itu berkembang pendirian bahwa mempelajari bangsa-bangsa di luar Eropa itu penting, karena bangsa-bangsa itu pada umumnya masih mempunyai masyarakat yang belum kompleks seperti masyarakat-masyarakat bangsa Eropa. Suatu pengertian tentang masyarakat yang tak kompleks akan menambah juga pengertian orang tentang masyarakat yang kompleks.
Dalam fase ketiga ini ilmu antropologi menjadi suatu ilmu yang praktis, dengan tujuan dapat dirumuskan sebagai berikut: mempelajari masyarakat dan kebudayaan suku-suku bangsa di luar Eropa guna kepentingan pemerintah kolonial dan guna mendapat suatu pengertian tentang masyarakat masa kini yang kompleks.
      Fase keempat (sesudah kira-kira 1930). Dalam fase ini ilmu antropologi mengalami masa perkembangannya yang paling luas, baik mengenai bertambahnya bahan pengetahuan yang jauh lebih teliti, maupun mengenai ketajaman dari metode-metode ilmiahnya. Kecuali adanya dua perubahan di dunia:
1. imbulnya antipati terhadap kolonialisme sesudah Perang Dunia II

2. cepat hilangnya bangsa-bangsa primitif (dalam arti bangsa-bangsa asli dan terpencil dari pengaruh kebudayaan Eropa-Amerika) yang sekitar tahun 1930 mulai hilang, dan sesudah Perang Dunia II memang hampir tak ada lagi di muka bumi ini.
Proses-proses tersebut menyebabkan bahwa ilmu antropologi seolah-olah kehilangan lapangan, dan dengan demikian terdorong untuk mengembangkan lapangan-lapangan penelitian dengan pokok dan tujuan yang baru.
Mengenai tujuannya, ilmu antropologi yang baru dalam fase perkembangannya yang keempat ini dapat dibagi dua, yaitu tujuan akademikal, dan tujuan praktisnya. Tujuan akademikalnya adalah : mencapai pengertian tentang  mahkluk manusia pada umumnya dengan mempelajari anekawarna bentuk fisiknya, masyarakat, serta kebudayaannya. Karena di dalam praktek ilmu antropologi biasanya mempelajari masyarakat suku bangsa, maka tujuan praktisnya adalah: mempelajari manusia dalam anekawarna masyarakat suku bangsa guna membangun masyarakat suku bangsa itu.
 DAFTAR PUSTAKA
Koentjaraningrat, 1979. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Rineka Citra
Iskandar, Iwa Husen dan Rostika, Enalia, 1996. Pengantar Antropologi. Bandung: Armico


[1]  Ihromi, Pokok-pokok Antropologi Budaya (Jakarta: YOI. 1996)hal. ix
[2] Iwa, husen Iskandar. Pengantar Antropologi (Bandung: Armico. 1996), hal. 16
[3] Iwa, husen Iskandar. Pengantar Antropologi (Bandung: Armico. 1996), hal. 19
[4]  Herimanto, Winarno. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar  (Solo: Bumi Aksara, 2008)hal. 18
[5] Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta, 2009)hal. 144
[6] Herimanto, Winarno. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar  (Solo: Bumi Aksara, 2008)hal. 25
[7] Herimanto, Winarno. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar  (Solo: Bumi Aksara, 2008)hal. 27